Mimpi seringkali berasal dari memori bawah sadar yang tervisualisasikan dalam kondisi tidur seseorang. Dari mimpi itulah kadang memori yang tidak dapat kita akses secara sadar akan dengan mudah muncul dalam bentuk mimpi. Tentu pernyataan ini adalah hal yang serampangan ditulis mengingat belum di cross check dengan penelitian terkini utamanya yang berkaitan dengan memori bawah sadar manusia. Respon kultural dari mimpi sangat berragam dan kadang akan membuatnya terasa terlalu jauh dari nalar pengetahuan tentang memori bawah sadar. Sekedar mencatatkan apa yang mungkin tidak dapat diakses lagi saya menuliskannya disini saja.
Sebuah gedung bertingkat dengan kesibukan orang berlalu-lalang dengan gesitnya. Pandangan tertuju pada sosok yang sangat dikenali, sekilas pandang cara berdiri dan menggendong tas punggungpun sangat mudah merekognisi sosok ini. Pandangan yang agak kabur mulai semakin jelas ketika sosok perempuan itu menapak pada tangga berjalan gedung menuju lantai yang sama dengan posisi ruangan kerja sekaligus tempat tidur serta posisi dimana pada saat pengamat ini berada.
Sosok perempuan ini kemudian masuk ke salah satu ruangan petinggi yang saya tau betul beliau adalah orang yang menginspirasinya. Tak lama berselang dia muncul dari balik daun pintu berbahan kayu tua yang kokoh itu, kayu jati. Sesaat iya menyapa setelah mungkin mengenaliku dari sisi lain balkon dalam gedung itu. Dia menghampiriku dengan melempar senyum lalu kami masuk,keruang kerjaku. Disana ada beberapa layar komputer yang menyala, lalu kami menonton dokumen serta beberapa footage pekerjaan yang sedang aku kerjakan.
Kami sempatkan waktu yang sepertinya terburu-buru itu untuk membahas dan mengklarifikasi perkembangan pekerjaanku sampai,akhirnya,dia terlihat lelah dan,tertidur di dua bangku didepan layar komputer. Bangku pertama menyangga tulang belikat dan bangku kedua menahan tulang pinggangnya. Dia terlihat tidak nyaman maka kemudian aku menambahkan,dua kursi lain untuk menambahkan penyangga badannya supaya lebih nyaman. Aku amati tidurnya dalam damai namun air mukanya menyiratkan letih. Aku ingin sekali mencium,keningnya namun tidak sampai hati karena aku tau betul posisiku.
(layar mimpi menghitam)
Aku terdampar pada delta muara sungai menjelang senja hari. Disana ada tokoh-tokoh yang mengenalku, aku tidak tau siapa namun mereka memberi dorongan untukku tetap membaca syair dan sajak lengkap dengan demonstrasi gerakan teatrikal ditanah berlumpur. Sesekali mereka meneriakiku dan aku merasa seperti kesetanan, semakin memjadi- jadi.
Kesadaranku dari trance melafalkan sajak kembali ketika sosok perempuan itu terlihat mendekati delta berlumpur dari seberang sungai menggunakan sampan kecil dan berpayung. Mukaku memerah malu, malu seperti anak kecil yang dijodoh-jodohkan dengan temannya. Sementara orang-orang tadi semakin intens meneriaki, menggoda dengan datangnya sosok perempuan itu. Dari visual shilouettenya aku kenal betul bahwa dia adalah perempuan belahan hati yang pada adegan sebelumnya tertidur di ruang kerjaku. Aku mantap melompat ke sampan itu lalu mengayuh keseberang sana bersama shilouette itu. Senja semakin matang.
(layar mimpi menghitam)
Aku melompat lagi kedalam latar waktu dan tempat yang lain. Kali ini mata kami beradu pandang. Aku lihat ia merasa iba dengan kondisiku, air mukanya begitu mendamaikan. Pada saat itu, aku merasa sangat lemah dan tidak berdaya, sekedar berjalanpun tak mampu. Ia membawaku berjalan-jalan melalui sebuah jalan di tepian bukit dimana mat dapat memandang jauh ke perkotaan di bawah arah barat bukit itu. Aneh sekali, jalan menanjak seperti tidak memberinya beban apa-apa ketika mendorongku yang duduk pada semacam kursi roda. Tanpa sepatah katapun, ia mampu mendamaikan hatiku yang penuh gemuruh. Sementara aku mulai menikmati pemandangan mendung tebal di atas kota sementara di ufuk barat masih terlihat garis kemilau matahari.
Belum ada tafsir dan konfirmasi mengenai ini, setan atau tuhan yang berbisik aku belum mampu menguraikannya.
Friday, 15 May 2015
Wednesday, 25 September 2013
Bumi Bang-Bang Wetan
Kali kesekian menginjak bumi Bang-Bang Wetan, semangat baru yang menggeliat melalui awal pancaran hari. Pesan itupun datang membawa pengingat konsep dasar bahwa manusia yang meniadakan dirinyalah yang nantinya akan lulus dan mampu bergabung menjadi satu gelombang spektrum cahaya yang terbang naik menemui kerinduan penciptanya. Sosok Markesot itupun muncul disekitaran toilet. Terasa sangat berat apa yang dinamakan rindu sejati itu, karena masih digondeli manusia-manusia lain yang mau tidak mau adakalanya membutuhkan dan dibutuhkan kita. Saya rindu lulus.
Surabaya, 25 September 2013
Surabaya, 25 September 2013
Thursday, 15 August 2013
Wahai engkau yang jauh,
Engkau yang jauh
dalam dimensi yang Tuhan kreasikan.
Aku memiliki sebuah rumusan bahwasannya Tuhan menciptakan rentang dimensi waktu dan ruang yang cukup luas untuk menjangkaumu sehingga tak akan penuh padanya cinta, jikalaupun penuh maka dimensi itu akan mengembang semakin luas. Keluasan dimensi yang tak lagi terjangkau jangkah kaki kerdil dan kerdilnya intelegensi milikku tidak lantas menggerus habis untukku selalu belajar menimang cinta. Engkau nan jauh di sana, dalam taman-taman cahaya, ilmu dan spiritualitas dalam ikatan mental insani. Taman cahayamu menumbuhkan tunas ilmu, merekahkan bunga spiritualitas, lalu membuahkan mental manusia utama. "Engkau yang dulu, sekarang, dan nanti akan tetap jauh,", kata sang waktu yang diiyakan si tempat. "tanaman-tanaman dalam taman cahayamu senantiasa terawat oleh beberapa orang yang menyimpannya", lanjut mereka.
Kreasi dimensional Tuhan
menempatkanmu pada laci usangku.
Dan biji-bijian, spora, akar tinggal, rimpang, serbuk bunga dari taman cahaya itu diterbangkan angin melewati hamparan yang sangat luas, larut dalam pusaran waktu. Mereka menyimpan sejumlah detail tentangmu dalam pola-pola yang tak semua orang mampu membaca apalagi memahaminya. Disana terlukis dan tertulis wajahmu memancarkan gelombang kedamaian. Sudut mata yang teduh seperti daerah bayangan awan putih diatas samudra yang seringnya berjegolak dan juga getir sendu tatkala beberapa manusia dilingkaran cintamu menerima kesedihan. Simpul tali senyuman yang tak satupun malaikat meragukan keorisinalitasan ungkapan atau ekspresi hati dan jiwa. Ruh dan jiwamu utuh wahai engkau manusia utama, mereka tersimpan rapi dalam laci meja usangku.
#mengawali bab2
dalam dimensi yang Tuhan kreasikan.
Aku memiliki sebuah rumusan bahwasannya Tuhan menciptakan rentang dimensi waktu dan ruang yang cukup luas untuk menjangkaumu sehingga tak akan penuh padanya cinta, jikalaupun penuh maka dimensi itu akan mengembang semakin luas. Keluasan dimensi yang tak lagi terjangkau jangkah kaki kerdil dan kerdilnya intelegensi milikku tidak lantas menggerus habis untukku selalu belajar menimang cinta. Engkau nan jauh di sana, dalam taman-taman cahaya, ilmu dan spiritualitas dalam ikatan mental insani. Taman cahayamu menumbuhkan tunas ilmu, merekahkan bunga spiritualitas, lalu membuahkan mental manusia utama. "Engkau yang dulu, sekarang, dan nanti akan tetap jauh,", kata sang waktu yang diiyakan si tempat. "tanaman-tanaman dalam taman cahayamu senantiasa terawat oleh beberapa orang yang menyimpannya", lanjut mereka.
Kreasi dimensional Tuhan
menempatkanmu pada laci usangku.
Dan biji-bijian, spora, akar tinggal, rimpang, serbuk bunga dari taman cahaya itu diterbangkan angin melewati hamparan yang sangat luas, larut dalam pusaran waktu. Mereka menyimpan sejumlah detail tentangmu dalam pola-pola yang tak semua orang mampu membaca apalagi memahaminya. Disana terlukis dan tertulis wajahmu memancarkan gelombang kedamaian. Sudut mata yang teduh seperti daerah bayangan awan putih diatas samudra yang seringnya berjegolak dan juga getir sendu tatkala beberapa manusia dilingkaran cintamu menerima kesedihan. Simpul tali senyuman yang tak satupun malaikat meragukan keorisinalitasan ungkapan atau ekspresi hati dan jiwa. Ruh dan jiwamu utuh wahai engkau manusia utama, mereka tersimpan rapi dalam laci meja usangku.
#mengawali bab2
Wednesday, 7 August 2013
Perihal Hari Raya (hasil copas)
Copas (MH. Ainun Nadjib, Indonesia Bagian dari Desa Saya, hal.17-20)
---------------------------------------------------------
Dibanding sekalian orang desa lainnya, keluarga saya termasuk yang paling tradisional. Terutama dalam beridul-fitri. Sehabis sembahyang di lapangan sepak bola, memang seluruh desa sibuk dengan orang berseliweran untuk berhalal bihalal antarkeluarga dan famili, seperti yang telah berlangsung mungkin sejak seabad yang lalu. Tetapi yang berduyun-duyun itu sekarang relatif hanya para orang tua dan anak-anak kecil. Para anak muda, "young generation"-nya berkencan rekreasi ke bermacam-macam tempat. Tidak menyertai keluarganya. Sedangkan keluarga saya, seluruh anggota "pasukan Bodrex"-nya ikut serta. Dari sejak salat Ied hingga sore hari berkeliling desa karena pada umumnya masih banyak yang tergolong famili. Bahkan, kini makin banyak yang mesti dikunjungi dibanding Hari Raya tahun-tahun lalu, sebab ada mertua-mertua baru dari sedulur-sedulur saya yang tempatnya di pojok-pojok. Betul-betul payah, kekenyangan, keringetan, dan merasa "paling ndeso". Dirumah hanya tinggal Sang Nenek dengan seorang pembantu, karena beliau ini punya posisi untuk dikunjungi, bukan mengunjungi.
Hari Raya tetap merupakan kebudayaan yang "fantastis" dan menggetarkan. Menggerakkan berjuta hati, bagai bendungan besar yang diam, tapi tiba-tiba bergolak. Merupakan kesempatan yang "aneh" yang dianugerahkan oleh Tuhan. Indonesia seperti diaduk kereta penuh sesak di bus orang bergelantungan, colt melipatkan tarip dan tukang-tukang becak atau pemilik andong berhari raya dengan "pemerasan" yang dianggap sah oleh masyarakat. Toko-toko meng-"obral" harga atau memberi korting untuk harga yang sejak semula memang sudah dinaikkan.
Semua anggota "konsulat" desa saya menyempatkan diri mudik. Baik yang jualan martabak di Surabaya, yang jadi germo di Tandes maupun Solo, yang kerja di pabrik gelas, yang jadi calo-calo pelacuran yang mencari perawan-perawan di desa-desa, yang kerja bengkel di Balikpapan, yang mengguru klenik di Gunung Kawi, atau jadi DPRD dan dosen universitas. Semuanya tumplek ke desa. Tak ada yang menghalangi orang hendak saling bermaafan serta memohon ampun kepada Tuhan. Kawan saya di Yogya yang beragama Katolik bahkan juga mesti pulang unuk sungkem kepada keluarga. Kawan lain yang Islam abangan pun turut menyertai saya ke desa. Hari Raya bagaikan milik semua manusia.
Ramai sepinya Hari Raya selalu bergelombang. Yang menentukan bisa faktor ekonomi, atau bisa juga situasi psikologis masyarakat yang berhubungan dengan momen keguyuban Idul Fitri selama momen-momen keguyuban lainnya. Tetapi, saya tak berhasil tahu persis kenapa Hari Raya saat ini kurang riuh, sementara lainnya dulu atau esok lebih meriah. Melihat teman-teman segenerasi saya di desa yang agak kurang terlibat dalam napas keguyuban halal bihalal tradisional itu, memang ada terpikir oleh saya perihal kelestarian kebudayaan Hari Raya itu. Apakah bakal datang suatu masa di mana mereka mulai bersikap acuh terhadap tradisi itu. Selama ini letak kekuatan Ramadhan dan Hari Raya adalah pada intensitas kolektifnya. Hari Raya sebagai kehangatan bersama, dengan format tradisinya yang khas kita. Bahwa Idul Fitri adalah suatu tonggak di mana setiap Muslim kembali 'jadi bayi; dan itu mesti diperjuangkan oleh masing-masing pribadi - masih belum merupakan tekanan yang sungguh-sungguh. Sebab itu, Idul Fitri belum lagi milik orang yang benar-benar kembali ke fitri, melainkan milik semua kaum Muslimin, siapapun dan bagaimanapun kualitas kemuslimannya. Bahkan hampir setiap orang di sini terasa ikut memiliki Hari Raya. Kalau rekan-rekan "generasi mutakir" itu mulai memilih rekreasi ke kota daripada keliling halal bihalal di desa, maka kira-kira itu adalah gejala kecil dari pencairan tradisi kebudayaan Hari Raya kita, tetapi lebih nampak sebagai perubahan pola bengunan tradisinya. Dari keduanya, makin jelas tema Hari Raya sebagai suatu pesta.
Tetapi ada suatu hal yang pasti, yang mensifati manusianya. Mereka yang memilih rekreasi pasti memperoleh pengalaman lahir batin yang amat berbeda dengan mereka yang memilih pawai halal bihalal di desa. Memang agak kurang sedap mencium lutut atau punggung tangan kakek-nenek buat kita yang "modern" ini, tetapi satu semangat dikandungnya: ialah intensitas hubungan batin antarmanusia, antarkeluarga, bahkan tali ikatan antarwilayah generasi. Tali ikatan kesejarahan, yang diungkapkan dengan suatu perlambang, sesuau dengan naluri manusia model kita. Dilangsungkan dengan seting religius-kultural sebuah momen Hari Raya. Bahwa dalam kesemuanya itu terkandung stratifikasi feodal kefamilian, tentu saja benar. Tetapi, setiap masyarakat memiliki garis batas untuk merobek tabir nalurinya sendiri. Bahwa untuk tingkat tertentu kita tetap berada dalam struktur susila kemasyarakatan yang masih feodalistis, ini tidak hanya menunjukkan arti keterbelengguan kita, tetapi juga mengekspresikan kenyataan bahwa kita tidak sepenuhnya bisa menjadi orang lain. Kita masih berada dalam struktur semacam itu - sementara yang dilakukan oleh "young generation" desa saya itu bukanlah gerak yang bertumbuh betul dari kesadaran akan dinamika inovatif atau paradigma kultur baru. Setidaknya di tempat rekreasi itu, di tempat pemandian, di gerumul hutan kecil atau delam gedung bioskop, mereka pasti merasakan suatu paradoks, terutama dalam konteks Idul Fitri itu.
Format tradisi yang berbeda itu juga memberi nilai yang berbeda. Persis, tapi dengan kadar yang berbeda, ketika saya menyempatkan diri berada di surau sepanjang malam selama beberapa hari sekitar Hari Raya.
Sudah makin sedikit kawan-kawan yang begadang di surau, sementara tema diskusinya pun sudah amat lain. Ini sebenarnya topik "klasik" baru nomor-nomor perubahan nilai dalam masyarakat kita. Tetapi, ia sendiri tidak akan berubah dengan seribu kali dibincangkan. Selalu terjumpa sela-sela lain dari masalah. Saya dengar mereka mementaskan dalam benaknya Yenni Rachman dalam film Pahitnya Cinta Manisnya Dosa, yang diputar di bioskop Kecamatan Peterongan khusus hadiah Lebaran. "Anunya Yenni tidak begitu besar" kata salah seorang, "yang top itu punya Enny Haryono". "Tapi mbook mbok... berani betul!" sahut lainnya, sambil berbaring di tikar di depan Imaman. Obrolanpun riuh, loncat dari bintang ke bintang.
Seseorang tiba-tiba terhenyak berdiri. "Sekarang Bionic Women filmnya!" katanya. Ia berjingkat, dan bersama teman lainnya berlari mendatangi TV tetangga. Malamnya film itu mereka review. Sampai jauh malam kemudian surau itu penuh dengan tokoh-tokoh film TV. "Chase" yang dulu, "Lucy" yang serba sedikit bisa juga bikin mereka tertawa, atau "Cannon" si gemuk yang mereka bilang Jorono, itu pelawak ketoprak Siswo Budoyo dari Tulungagung, atau mirip juga dengan Edi Geol-nya Srimulat. Betapa modern sistem komunikasi zaman ini. Si Kardu tukang angon kerbau itu, betapapun tak punya kerangka referensi yang bisa dipakai untuk meng-"casting" Cannon dalam komputer otaknya, toh bisa nonton dengan asyik gambar hidup bikinan orang nun jauh di sana itu. Potret pertemuan antara dua dunia itu pasti adalah lukisan surealis terbesar yang dicapai abad ini.
------------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------
Dibanding sekalian orang desa lainnya, keluarga saya termasuk yang paling tradisional. Terutama dalam beridul-fitri. Sehabis sembahyang di lapangan sepak bola, memang seluruh desa sibuk dengan orang berseliweran untuk berhalal bihalal antarkeluarga dan famili, seperti yang telah berlangsung mungkin sejak seabad yang lalu. Tetapi yang berduyun-duyun itu sekarang relatif hanya para orang tua dan anak-anak kecil. Para anak muda, "young generation"-nya berkencan rekreasi ke bermacam-macam tempat. Tidak menyertai keluarganya. Sedangkan keluarga saya, seluruh anggota "pasukan Bodrex"-nya ikut serta. Dari sejak salat Ied hingga sore hari berkeliling desa karena pada umumnya masih banyak yang tergolong famili. Bahkan, kini makin banyak yang mesti dikunjungi dibanding Hari Raya tahun-tahun lalu, sebab ada mertua-mertua baru dari sedulur-sedulur saya yang tempatnya di pojok-pojok. Betul-betul payah, kekenyangan, keringetan, dan merasa "paling ndeso". Dirumah hanya tinggal Sang Nenek dengan seorang pembantu, karena beliau ini punya posisi untuk dikunjungi, bukan mengunjungi.
Hari Raya tetap merupakan kebudayaan yang "fantastis" dan menggetarkan. Menggerakkan berjuta hati, bagai bendungan besar yang diam, tapi tiba-tiba bergolak. Merupakan kesempatan yang "aneh" yang dianugerahkan oleh Tuhan. Indonesia seperti diaduk kereta penuh sesak di bus orang bergelantungan, colt melipatkan tarip dan tukang-tukang becak atau pemilik andong berhari raya dengan "pemerasan" yang dianggap sah oleh masyarakat. Toko-toko meng-"obral" harga atau memberi korting untuk harga yang sejak semula memang sudah dinaikkan.
Semua anggota "konsulat" desa saya menyempatkan diri mudik. Baik yang jualan martabak di Surabaya, yang jadi germo di Tandes maupun Solo, yang kerja di pabrik gelas, yang jadi calo-calo pelacuran yang mencari perawan-perawan di desa-desa, yang kerja bengkel di Balikpapan, yang mengguru klenik di Gunung Kawi, atau jadi DPRD dan dosen universitas. Semuanya tumplek ke desa. Tak ada yang menghalangi orang hendak saling bermaafan serta memohon ampun kepada Tuhan. Kawan saya di Yogya yang beragama Katolik bahkan juga mesti pulang unuk sungkem kepada keluarga. Kawan lain yang Islam abangan pun turut menyertai saya ke desa. Hari Raya bagaikan milik semua manusia.
Ramai sepinya Hari Raya selalu bergelombang. Yang menentukan bisa faktor ekonomi, atau bisa juga situasi psikologis masyarakat yang berhubungan dengan momen keguyuban Idul Fitri selama momen-momen keguyuban lainnya. Tetapi, saya tak berhasil tahu persis kenapa Hari Raya saat ini kurang riuh, sementara lainnya dulu atau esok lebih meriah. Melihat teman-teman segenerasi saya di desa yang agak kurang terlibat dalam napas keguyuban halal bihalal tradisional itu, memang ada terpikir oleh saya perihal kelestarian kebudayaan Hari Raya itu. Apakah bakal datang suatu masa di mana mereka mulai bersikap acuh terhadap tradisi itu. Selama ini letak kekuatan Ramadhan dan Hari Raya adalah pada intensitas kolektifnya. Hari Raya sebagai kehangatan bersama, dengan format tradisinya yang khas kita. Bahwa Idul Fitri adalah suatu tonggak di mana setiap Muslim kembali 'jadi bayi; dan itu mesti diperjuangkan oleh masing-masing pribadi - masih belum merupakan tekanan yang sungguh-sungguh. Sebab itu, Idul Fitri belum lagi milik orang yang benar-benar kembali ke fitri, melainkan milik semua kaum Muslimin, siapapun dan bagaimanapun kualitas kemuslimannya. Bahkan hampir setiap orang di sini terasa ikut memiliki Hari Raya. Kalau rekan-rekan "generasi mutakir" itu mulai memilih rekreasi ke kota daripada keliling halal bihalal di desa, maka kira-kira itu adalah gejala kecil dari pencairan tradisi kebudayaan Hari Raya kita, tetapi lebih nampak sebagai perubahan pola bengunan tradisinya. Dari keduanya, makin jelas tema Hari Raya sebagai suatu pesta.
Tetapi ada suatu hal yang pasti, yang mensifati manusianya. Mereka yang memilih rekreasi pasti memperoleh pengalaman lahir batin yang amat berbeda dengan mereka yang memilih pawai halal bihalal di desa. Memang agak kurang sedap mencium lutut atau punggung tangan kakek-nenek buat kita yang "modern" ini, tetapi satu semangat dikandungnya: ialah intensitas hubungan batin antarmanusia, antarkeluarga, bahkan tali ikatan antarwilayah generasi. Tali ikatan kesejarahan, yang diungkapkan dengan suatu perlambang, sesuau dengan naluri manusia model kita. Dilangsungkan dengan seting religius-kultural sebuah momen Hari Raya. Bahwa dalam kesemuanya itu terkandung stratifikasi feodal kefamilian, tentu saja benar. Tetapi, setiap masyarakat memiliki garis batas untuk merobek tabir nalurinya sendiri. Bahwa untuk tingkat tertentu kita tetap berada dalam struktur susila kemasyarakatan yang masih feodalistis, ini tidak hanya menunjukkan arti keterbelengguan kita, tetapi juga mengekspresikan kenyataan bahwa kita tidak sepenuhnya bisa menjadi orang lain. Kita masih berada dalam struktur semacam itu - sementara yang dilakukan oleh "young generation" desa saya itu bukanlah gerak yang bertumbuh betul dari kesadaran akan dinamika inovatif atau paradigma kultur baru. Setidaknya di tempat rekreasi itu, di tempat pemandian, di gerumul hutan kecil atau delam gedung bioskop, mereka pasti merasakan suatu paradoks, terutama dalam konteks Idul Fitri itu.
Format tradisi yang berbeda itu juga memberi nilai yang berbeda. Persis, tapi dengan kadar yang berbeda, ketika saya menyempatkan diri berada di surau sepanjang malam selama beberapa hari sekitar Hari Raya.
Sudah makin sedikit kawan-kawan yang begadang di surau, sementara tema diskusinya pun sudah amat lain. Ini sebenarnya topik "klasik" baru nomor-nomor perubahan nilai dalam masyarakat kita. Tetapi, ia sendiri tidak akan berubah dengan seribu kali dibincangkan. Selalu terjumpa sela-sela lain dari masalah. Saya dengar mereka mementaskan dalam benaknya Yenni Rachman dalam film Pahitnya Cinta Manisnya Dosa, yang diputar di bioskop Kecamatan Peterongan khusus hadiah Lebaran. "Anunya Yenni tidak begitu besar" kata salah seorang, "yang top itu punya Enny Haryono". "Tapi mbook mbok... berani betul!" sahut lainnya, sambil berbaring di tikar di depan Imaman. Obrolanpun riuh, loncat dari bintang ke bintang.
Seseorang tiba-tiba terhenyak berdiri. "Sekarang Bionic Women filmnya!" katanya. Ia berjingkat, dan bersama teman lainnya berlari mendatangi TV tetangga. Malamnya film itu mereka review. Sampai jauh malam kemudian surau itu penuh dengan tokoh-tokoh film TV. "Chase" yang dulu, "Lucy" yang serba sedikit bisa juga bikin mereka tertawa, atau "Cannon" si gemuk yang mereka bilang Jorono, itu pelawak ketoprak Siswo Budoyo dari Tulungagung, atau mirip juga dengan Edi Geol-nya Srimulat. Betapa modern sistem komunikasi zaman ini. Si Kardu tukang angon kerbau itu, betapapun tak punya kerangka referensi yang bisa dipakai untuk meng-"casting" Cannon dalam komputer otaknya, toh bisa nonton dengan asyik gambar hidup bikinan orang nun jauh di sana itu. Potret pertemuan antara dua dunia itu pasti adalah lukisan surealis terbesar yang dicapai abad ini.
------------------------------------------------------------
Friday, 19 July 2013
Saridin dan Cintanya
Copas dari Saridin:
"Di tengah pergaulan, selalu ada favourable friend alias sahabat favorit. Di antara kawan-kawan, senantiasa terdapat lovely person alias seseorang yang sangat merangsang untuk kita sayangi, disamping tentu saja ada juga kawan yang kemethak"
(hal. 76)
" Saridin senantiasa bertempat tinggal di sekitar Adam-Hawa dan semua cucu mereka di segala generasi. Itu karena Saridin sangat mencintai manusia, sangat mengasihi dan menyayangi para masterpiece ciptaan Allah itu. Dan, terus terang, cinta dan kasih sayang murni total Saridin kepada manusia itulah yang akhirnya menjadi sumber ketololan dan nasib buruknya sepanjang masa maupun sampai kelak di luar masa.
Soalnya cinta Saridin benar-benar murni, tanpa pamrih, atau satu-satunya pamrih ya mencintai itu sendiri. Jadi Saridin mencintai manusia bukan karena menginginkan sesuatu dari manusia. Bukan karena mau menguasai atau apapun. Mencintai ya mencintai. Titik. Mengasihi ya mengasihi. Titik.
Bukan mengasihi sebagai cara untuk memperoleh sesuatu. Bukan menyayangi untuk mengincar keuntungan. Bukan mencintai untuk mencita-citakan kebahagiaan.
Celakanya cinta kasih sayang jenis macam ini boleh di katakan tidak ada dalam referensi kebudayaan umat manusia. Jadi Saridin hanya bisa menjalani cintanya dalam bentuk penderitaan, yang terdiri atas kesalahpahaman dan fitnah yang tidak pernah habis.
Tidak ada cinta yang demikian, sehingga Saridin dengan sendirinya terkucilkan. Untunglah sejak semula Saridin memang tidak pernah memunculkan dirinya di tengah kehidupan manusia.
Saridin hanya pinjam wajah seseorang, darimana ia memancarkan cahayanya. Saridin hanya pinjam eksistensi manusia tertentu, dengan mana ia mengungkapkan kepribadiannya. Saridin pinjam otak orang untuk mengartikulasikan falsafah dan sikap hidupnya. Saridin pinjam hati orang untuk menyanyikan perasaan-perasaannya."
(hal. 61-62)
Saridin oh, Saridin.....
Sumber kutipan: Buku "Folklore Madura" oleh Emha Ainun Nadjib
"Di tengah pergaulan, selalu ada favourable friend alias sahabat favorit. Di antara kawan-kawan, senantiasa terdapat lovely person alias seseorang yang sangat merangsang untuk kita sayangi, disamping tentu saja ada juga kawan yang kemethak"
(hal. 76)
" Saridin senantiasa bertempat tinggal di sekitar Adam-Hawa dan semua cucu mereka di segala generasi. Itu karena Saridin sangat mencintai manusia, sangat mengasihi dan menyayangi para masterpiece ciptaan Allah itu. Dan, terus terang, cinta dan kasih sayang murni total Saridin kepada manusia itulah yang akhirnya menjadi sumber ketololan dan nasib buruknya sepanjang masa maupun sampai kelak di luar masa.
Soalnya cinta Saridin benar-benar murni, tanpa pamrih, atau satu-satunya pamrih ya mencintai itu sendiri. Jadi Saridin mencintai manusia bukan karena menginginkan sesuatu dari manusia. Bukan karena mau menguasai atau apapun. Mencintai ya mencintai. Titik. Mengasihi ya mengasihi. Titik.
Bukan mengasihi sebagai cara untuk memperoleh sesuatu. Bukan menyayangi untuk mengincar keuntungan. Bukan mencintai untuk mencita-citakan kebahagiaan.
Celakanya cinta kasih sayang jenis macam ini boleh di katakan tidak ada dalam referensi kebudayaan umat manusia. Jadi Saridin hanya bisa menjalani cintanya dalam bentuk penderitaan, yang terdiri atas kesalahpahaman dan fitnah yang tidak pernah habis.
Tidak ada cinta yang demikian, sehingga Saridin dengan sendirinya terkucilkan. Untunglah sejak semula Saridin memang tidak pernah memunculkan dirinya di tengah kehidupan manusia.
Saridin hanya pinjam wajah seseorang, darimana ia memancarkan cahayanya. Saridin hanya pinjam eksistensi manusia tertentu, dengan mana ia mengungkapkan kepribadiannya. Saridin pinjam otak orang untuk mengartikulasikan falsafah dan sikap hidupnya. Saridin pinjam hati orang untuk menyanyikan perasaan-perasaannya."
(hal. 61-62)
Saridin oh, Saridin.....
Sumber kutipan: Buku "Folklore Madura" oleh Emha Ainun Nadjib
Subscribe to:
Comments (Atom)

- Follow Us on Twitter!
- "Join Us on Facebook!
- RSS
Contact