Minggu pagi, waktu yang haram untuk mengurus beberapa tulisan remeh namun mendatangkan rejeki untuk bekal makan dan main esok. Dua minggu sudah bergelut dengan urusan ghost writing membuat jenuh pikiran dan aku sebenarnya lebih takut ketika kata-kata yang biasanya muncul bagai notifikassi pop-up dari twitter mulai lengang.
Sejak bangun tadi subuh sudah kucanangkan Gerakan Anti Menulis di Hari Minggu. Tidur atau membaca mungkin pilihan yang tepat ketika tak ada kawan ngobrol pikirku. Makan sudah, kenyang tentu, dan teman sekontrakan mulai dengan idenya untuk kembali terlelap, menemui mimpi-mimpi siang bolong yang tak akan ku usik. Tulisan - tulisan dari Bang Anonymous sudah mulai terjepit dengan beberapa ocehan burung-burung online yang baru bangun pagi menjelang siang. Praktis yang belum terjamah adalah sisa urusan yang menjemukan sekaligus mengasyikan, ghost writing, lagi? Oh tidak, tidak akan. Baiklah, sedikit saja kuintip, dan ya seperti biasanya, nangkring daftar tulisan untuk beberapa waktu kedepan. "Hai kepala iblis penguasa penulis hantu (agak kaku juga diterjemahkan demikian), hari ini aku tidak akan mengijinkan anak buahmu merasukiku lagi." Bisa dikatakan kesurupan selama 5 hari sudah cukup mengikis zona surgawiku, aku tidak mau lagi hari ini. Ponsel kenapa kau pendiam sekali hari ini, tak ada "triiiiingggg" yang mengusik maupun membuatku senyum-senyum disaksikan bayangan wajahku sendiri.
Jemuran. Baiklah, kucoba sejenak mencari kran air dan membasuh muka dan biasanya memberi kesempatan untuk membuka celah suram kejenuhan. Kejenuhan yang kata seseorang akan memakan habis tampang mukaku yang pada dasarnya sudah kusut dan kering. Tak ada salahnya kiraku, membasuh muka, dengan air dingin yang segar, semoga rayap pengerut muka bisa juga tergusur seperti kena tsunami. Baiklah, "Terima tsunami dariku rayap pemakan wajah!". Bangun dengan langkah agak sedikit relatif cenderung antusias, menginisiasi tindakan nyataku untuk bertemu dengan air, "Rayap, mati kau!" Di ujung pintu tak berdaun pintu itu berseralan sandal-sandal tak tentu arah. Kacau sekali, 5 detik sebelum akhirnya dapat kupilih sandal "penyiksa" yang jarang sekali dipakai karena permukaan yang katanya dapat memijat titik-titik akupuntur. Sekilas terlihat beberapa item jemuran yang sedari tadi kupasang formasinya sebelum makan, jas hujan tiga potong yang terdiri dari sepasang jaket beserta celana dan mantel batman berlengan sebutnya. Akur dan damai sekali mereka, sekilas angin lembut yang membelai mereka. Simpul senyum kecil wajah yang belum jadi terbasuh air ini terinduksi lewat pantulan dari bulir bulir kecil sisa hujan dengan paduan cerah cahaya matahari timur pagi ini. Entah apa itu, lumayan lama juga simpul itu terikat. "Ini dia orang gila baru, yang terobsesi pada jas hujan dijemuran", kata semut yang merayap pada tali jemuran. Masa bodoh, aku suka sekali melihat mereka terpajang disana, tidak kalah dengan lukisan di pameran-pameran dan musium yang pernah kudatangi. "Hoi, kapan jadinya membasuh mukamu?" Baiklah, kutinggalkan mereka sejenak dengan simpul yang masih melekat manja. Air pagi ini terasa lebih dingin dari biasanya, tapi menyegarkan, melemaskan kerut wajah yang sedari tadi suntuk. Sesaat sebelum kembali ke "kantor" sempat kulirik formasi jas hujan yang menurutku menarik tadi. "They look so lovely" mungkin ini ungkapan terbaikku untuk mereka.
E-book. Ini dia waktu yang kutunggu-tunggu untuk menjelajahi dunia tulisan. Kali ini aku berkesempatan membuka sebuah kisah yang direkomendasikan seseorang sejak dua minggu yang lalu. Dengan bantuan software pembaca e-book yang memanjakanku, lembar demi lembar terkuak dengan dinamika cerita yang menarik. Aku merasa cerita ini begitu hidup dan dekat setidaknya sampai 6 chapter yang baru bisa kubaca. Ada kesamaan-kesamaan dengan dimensi tempat dimana aku hidup akhir-akhir ini.
Sisa memori sebuah sore
Kemarin sore, ya kemarin sore. Waktu yang singkat untuk sebuah simpul rangkaian perputaran waktu yang menarik. Aku ingat betul ada frame yang bagus jika kalau saja ada kamera disana. Dua fragmen kosong terpisah dengan tembok setebal setengah meter. Dua anak manusia yang mengisi fragmen-fragmen itu dalam kelimbungan pikiran. Hutan dan hujan. Meskipun bukan hutan hujan, ada satu daerah yang membuatku sangat merasa senang. Entah. Hutan itu memang hidup, dan bisa berinteraksi dengan kita, aku yakin sekali akan hal ini. Pohon-pohon itu sangat ramah menyambut kami sore itu. Surga, aku melihatnya seperti itu. Udara menjadi sangat bersih dan nyaman untuk dihirup, langit mendung masih menyisakan sedikit celah kilauanya. Seperti kera yang dilepaskan dari kandang Sang Pemburu, gumamku.
Langit, kutunggu kesempatanmu lain waktu lagi untuk hal ini.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)

No comments:
Post a Comment
we are happy to hear your voice, may Earth be with us