Wednesday, 25 September 2013

Bumi Bang-Bang Wetan

Kali kesekian menginjak bumi Bang-Bang Wetan, semangat baru yang menggeliat melalui awal pancaran hari. Pesan itupun datang membawa pengingat konsep dasar bahwa manusia yang meniadakan dirinyalah yang nantinya akan lulus dan mampu bergabung menjadi satu gelombang spektrum cahaya yang terbang naik menemui kerinduan penciptanya. Sosok Markesot itupun muncul disekitaran toilet. Terasa sangat berat apa yang dinamakan rindu sejati itu, karena masih digondeli manusia-manusia lain yang mau tidak mau adakalanya membutuhkan dan dibutuhkan kita. Saya rindu lulus.

Surabaya, 25 September 2013


Thursday, 15 August 2013

Wahai engkau yang jauh,

Engkau yang jauh
dalam dimensi yang Tuhan kreasikan. 

Aku memiliki sebuah rumusan bahwasannya Tuhan menciptakan rentang dimensi waktu dan ruang yang cukup luas untuk menjangkaumu sehingga tak akan penuh padanya cinta, jikalaupun penuh maka dimensi itu akan mengembang semakin luas. Keluasan dimensi yang tak lagi terjangkau jangkah kaki kerdil dan kerdilnya intelegensi milikku tidak lantas menggerus habis untukku selalu belajar menimang cinta. Engkau nan jauh di sana, dalam taman-taman cahaya, ilmu dan spiritualitas dalam ikatan mental insani. Taman cahayamu menumbuhkan tunas ilmu, merekahkan bunga spiritualitas, lalu membuahkan mental manusia utama. "Engkau yang dulu, sekarang, dan nanti akan tetap jauh,", kata sang waktu  yang diiyakan si tempat. "tanaman-tanaman dalam taman cahayamu senantiasa terawat oleh beberapa orang yang menyimpannya", lanjut mereka.

Kreasi dimensional Tuhan
menempatkanmu pada laci usangku.

Dan biji-bijian, spora, akar tinggal, rimpang, serbuk bunga dari taman cahaya itu diterbangkan angin melewati hamparan yang sangat luas, larut dalam pusaran waktu.  Mereka menyimpan sejumlah detail tentangmu dalam pola-pola yang tak semua orang mampu membaca apalagi memahaminya. Disana terlukis dan tertulis wajahmu memancarkan gelombang kedamaian. Sudut mata yang teduh seperti daerah bayangan awan putih diatas samudra yang seringnya berjegolak dan juga getir sendu tatkala beberapa manusia dilingkaran cintamu menerima kesedihan. Simpul tali senyuman yang tak satupun malaikat meragukan keorisinalitasan ungkapan atau ekspresi hati dan jiwa. Ruh dan jiwamu utuh wahai engkau manusia utama, mereka tersimpan rapi dalam laci meja usangku.

#mengawali bab2
 

Wednesday, 7 August 2013

Perihal Hari Raya (hasil copas)

Copas (MH. Ainun Nadjib, Indonesia Bagian dari Desa Saya, hal.17-20)
---------------------------------------------------------
Dibanding sekalian orang desa lainnya, keluarga saya termasuk yang paling tradisional. Terutama dalam beridul-fitri. Sehabis sembahyang di lapangan sepak bola, memang seluruh desa sibuk dengan orang berseliweran untuk berhalal bihalal antarkeluarga dan famili, seperti yang telah berlangsung mungkin sejak seabad yang lalu. Tetapi yang berduyun-duyun itu sekarang relatif hanya para orang tua dan anak-anak kecil. Para anak muda, "young generation"-nya berkencan rekreasi ke bermacam-macam tempat. Tidak menyertai keluarganya. Sedangkan keluarga saya, seluruh anggota "pasukan Bodrex"-nya ikut serta. Dari sejak salat Ied hingga sore hari berkeliling desa karena pada umumnya masih banyak yang tergolong famili. Bahkan, kini makin banyak yang mesti dikunjungi dibanding Hari Raya tahun-tahun lalu, sebab ada mertua-mertua baru dari sedulur-sedulur saya yang tempatnya di pojok-pojok. Betul-betul payah, kekenyangan, keringetan, dan merasa "paling ndeso". Dirumah hanya tinggal Sang Nenek dengan seorang pembantu, karena beliau ini punya posisi untuk dikunjungi, bukan mengunjungi.

Hari Raya tetap merupakan kebudayaan yang "fantastis" dan menggetarkan. Menggerakkan berjuta hati, bagai bendungan besar yang diam, tapi tiba-tiba bergolak. Merupakan kesempatan yang "aneh" yang dianugerahkan oleh Tuhan. Indonesia seperti diaduk kereta penuh sesak di bus orang bergelantungan, colt melipatkan tarip dan tukang-tukang becak atau pemilik andong berhari raya dengan "pemerasan" yang dianggap sah oleh masyarakat. Toko-toko meng-"obral" harga atau memberi korting untuk harga yang sejak semula memang sudah dinaikkan.

Semua anggota "konsulat" desa saya menyempatkan diri mudik. Baik yang jualan martabak di Surabaya, yang jadi germo di Tandes maupun Solo, yang kerja di pabrik gelas, yang jadi calo-calo pelacuran yang mencari perawan-perawan di desa-desa, yang kerja bengkel di Balikpapan, yang mengguru klenik di Gunung Kawi, atau jadi DPRD dan dosen universitas. Semuanya tumplek ke desa. Tak ada yang menghalangi orang hendak saling bermaafan serta memohon ampun kepada Tuhan. Kawan saya di Yogya yang beragama Katolik bahkan juga mesti pulang unuk sungkem kepada keluarga. Kawan lain yang Islam abangan pun turut menyertai saya ke desa. Hari Raya bagaikan milik semua manusia.

Ramai sepinya Hari Raya selalu bergelombang. Yang menentukan bisa faktor ekonomi, atau bisa juga situasi psikologis masyarakat yang berhubungan dengan momen keguyuban Idul Fitri selama momen-momen keguyuban lainnya. Tetapi, saya tak berhasil tahu persis kenapa Hari Raya saat ini kurang riuh, sementara lainnya dulu atau esok lebih meriah. Melihat teman-teman segenerasi saya di desa yang agak kurang terlibat dalam napas keguyuban halal bihalal tradisional itu, memang ada terpikir oleh saya perihal kelestarian kebudayaan Hari Raya itu. Apakah bakal datang suatu masa di mana mereka mulai bersikap acuh terhadap tradisi itu. Selama ini letak kekuatan Ramadhan dan Hari Raya adalah pada intensitas kolektifnya. Hari Raya sebagai kehangatan bersama, dengan format tradisinya yang khas kita. Bahwa Idul Fitri adalah suatu tonggak di mana setiap Muslim kembali 'jadi bayi; dan itu mesti diperjuangkan oleh masing-masing pribadi - masih belum merupakan tekanan yang sungguh-sungguh. Sebab itu, Idul Fitri belum lagi milik orang yang benar-benar kembali ke fitri, melainkan milik semua kaum Muslimin, siapapun dan bagaimanapun kualitas kemuslimannya. Bahkan hampir setiap orang di sini terasa ikut memiliki Hari Raya. Kalau rekan-rekan "generasi mutakir" itu mulai memilih rekreasi ke kota daripada keliling halal bihalal di desa, maka kira-kira itu adalah gejala kecil dari pencairan tradisi kebudayaan Hari Raya kita, tetapi lebih nampak sebagai perubahan pola bengunan tradisinya. Dari keduanya, makin jelas tema Hari Raya sebagai suatu pesta.

Tetapi ada suatu hal yang pasti, yang mensifati manusianya. Mereka yang memilih rekreasi pasti memperoleh pengalaman lahir batin yang amat berbeda dengan mereka yang memilih pawai halal bihalal di desa. Memang agak kurang sedap mencium lutut atau punggung tangan kakek-nenek buat kita yang "modern" ini, tetapi satu semangat dikandungnya: ialah intensitas hubungan batin antarmanusia, antarkeluarga, bahkan tali ikatan antarwilayah generasi. Tali ikatan kesejarahan, yang diungkapkan dengan suatu perlambang, sesuau dengan naluri manusia model kita. Dilangsungkan dengan seting religius-kultural sebuah momen Hari Raya. Bahwa dalam kesemuanya itu terkandung stratifikasi feodal kefamilian, tentu saja benar. Tetapi, setiap masyarakat memiliki garis batas untuk merobek tabir nalurinya sendiri. Bahwa untuk tingkat tertentu kita tetap berada dalam struktur susila kemasyarakatan yang masih feodalistis, ini tidak hanya menunjukkan arti keterbelengguan kita, tetapi juga mengekspresikan kenyataan bahwa kita tidak sepenuhnya bisa menjadi orang lain. Kita masih berada dalam struktur semacam itu - sementara yang dilakukan oleh "young generation" desa saya itu bukanlah  gerak yang bertumbuh betul dari kesadaran akan dinamika inovatif atau paradigma kultur baru. Setidaknya di tempat rekreasi itu, di tempat pemandian, di gerumul hutan kecil atau delam gedung bioskop, mereka pasti merasakan suatu paradoks, terutama dalam konteks Idul Fitri itu.

Format tradisi yang berbeda itu juga memberi nilai yang berbeda. Persis, tapi dengan kadar yang berbeda, ketika saya menyempatkan diri berada di surau sepanjang malam selama beberapa hari sekitar Hari Raya.

Sudah makin sedikit kawan-kawan yang begadang di surau, sementara tema diskusinya pun sudah amat lain. Ini sebenarnya topik "klasik" baru nomor-nomor perubahan nilai dalam masyarakat kita. Tetapi, ia sendiri tidak akan berubah dengan seribu kali dibincangkan. Selalu terjumpa sela-sela lain dari masalah. Saya dengar mereka mementaskan dalam benaknya Yenni Rachman dalam film Pahitnya Cinta Manisnya Dosa, yang diputar di bioskop Kecamatan Peterongan khusus hadiah Lebaran. "Anunya Yenni tidak begitu besar" kata salah seorang, "yang top itu punya Enny Haryono". "Tapi mbook mbok... berani betul!" sahut lainnya, sambil berbaring di tikar di depan Imaman. Obrolanpun riuh, loncat dari bintang ke bintang.

Seseorang tiba-tiba terhenyak berdiri. "Sekarang Bionic Women filmnya!"  katanya. Ia berjingkat, dan bersama teman lainnya berlari mendatangi TV tetangga. Malamnya film itu mereka review. Sampai jauh malam kemudian surau itu penuh dengan tokoh-tokoh film TV. "Chase" yang dulu, "Lucy" yang serba sedikit bisa juga bikin mereka tertawa, atau "Cannon" si gemuk yang mereka bilang Jorono, itu pelawak ketoprak Siswo Budoyo dari Tulungagung, atau mirip juga dengan Edi Geol-nya Srimulat. Betapa modern sistem komunikasi zaman ini. Si Kardu tukang angon kerbau itu, betapapun tak punya kerangka referensi yang bisa dipakai untuk meng-"casting" Cannon dalam komputer otaknya, toh bisa nonton dengan asyik gambar hidup bikinan orang nun jauh di sana itu. Potret pertemuan antara dua dunia itu pasti adalah lukisan surealis terbesar yang dicapai abad ini.

------------------------------------------------------------

Friday, 19 July 2013

Saridin dan Cintanya

Copas dari Saridin:

"Di tengah pergaulan, selalu ada favourable friend alias sahabat favorit. Di antara kawan-kawan, senantiasa terdapat lovely person alias seseorang yang sangat merangsang untuk kita sayangi, disamping tentu saja ada juga kawan yang kemethak"
(hal. 76)

" Saridin senantiasa bertempat tinggal di sekitar Adam-Hawa dan semua cucu mereka di segala generasi. Itu karena Saridin sangat mencintai manusia, sangat mengasihi dan menyayangi para masterpiece ciptaan Allah itu. Dan, terus terang, cinta dan kasih sayang murni total Saridin kepada manusia itulah yang akhirnya menjadi sumber ketololan dan nasib buruknya sepanjang masa maupun sampai kelak di luar masa.
Soalnya cinta Saridin benar-benar murni, tanpa pamrih, atau satu-satunya pamrih ya mencintai itu sendiri. Jadi Saridin mencintai manusia bukan karena menginginkan sesuatu dari manusia. Bukan karena mau menguasai atau apapun. Mencintai ya mencintai. Titik. Mengasihi ya mengasihi. Titik.
Bukan mengasihi sebagai cara untuk memperoleh sesuatu. Bukan menyayangi untuk mengincar keuntungan. Bukan mencintai untuk mencita-citakan kebahagiaan.
Celakanya cinta kasih sayang jenis macam ini boleh di katakan tidak ada dalam referensi kebudayaan umat manusia. Jadi Saridin hanya bisa menjalani cintanya dalam bentuk penderitaan, yang terdiri atas kesalahpahaman dan fitnah yang tidak pernah habis.
Tidak ada cinta yang demikian, sehingga Saridin dengan sendirinya terkucilkan. Untunglah sejak semula Saridin memang tidak pernah memunculkan dirinya di tengah kehidupan manusia.
Saridin hanya pinjam wajah seseorang, darimana ia memancarkan cahayanya. Saridin hanya pinjam eksistensi manusia tertentu, dengan mana ia mengungkapkan kepribadiannya. Saridin pinjam otak orang untuk mengartikulasikan falsafah dan sikap hidupnya. Saridin pinjam hati orang untuk menyanyikan perasaan-perasaannya."
(hal. 61-62)

Saridin oh, Saridin.....

Sumber kutipan: Buku "Folklore Madura" oleh Emha Ainun Nadjib

Friday, 5 July 2013

Sepengggal Lirik dari Caknun

Sayang, sayang, sayang, kita nggak tau kemana pergi
tak sanggup kita dengarkan, suara yang sejati,
langkah kita mengabdi pada nafsu sendiri,
yang sanggup kita pandang hanya kepentingan sendiri.

Sayang, sayang, sayang, orang pinter tak mau ngaji
kepala tengadah, merasa benar sendiri,
semua dituding-tuding dan dicaci-maki,
yang lainnya salah hanya dia yang suci.

Sayang, sayang, sayang, orang hebat tinggi hati
omong demokrasi, pidato berapi-api
ternyata karena menginginkan kursi
sementara rakyat kerepotan cari nasi.

Yang disangka emas, emasnya dibuang-buang
kita makin buta, mana utara mana selatan
yang kecil dibesarkan, yang besar diremehkan
yang penting disepelekan, yang sepele diutamakan.

Alloh, Alloh, Alloh, betapa busuk hidup kami
dan masih terus akan lebih membusuk lagi,
betapa gelapnya hari didepan kami,
mohon ayomilah kami yang kecil ini.




Wednesday, 17 April 2013

See u later,

Ketika keresahan kian memuncak tentang diri yang tak berdaya melawan kelemahan jiwa. Kegetiran yang dihadapai akan memuncak tatkala pola pikir tidak sejalan dengan realita. Ketika tak kunjung support yang didamba itu datang, ketika darah terlanjur mengucur dalam pilu. Ketika kaki meradang lemah, ketika mimpi kian meroket jauh naik entah sampai langit berapa. Kau untukku, untuk batinku, hanya dan hanya jika memang itu tulisannya. Tanda dan bisik menyuruhku hengkang, kelak sudi kamu datang, aku ada dalam sumur sepi. Sampai ketemu dilangit mimpi.

Sejukkan hati dan bernyanyi,
sejukkan hati dan bernyanyi.

Petemon, 17 April 2013

Thursday, 11 April 2013

Guyon


Yo podo dolan neng demak ijo, ayo jo
Jothakan ku, ayo ku
Kusir jaran, ayo ran
Rante kapal, ayo pal
Palu arit, PKI, ayo I
Iwak Babi, ayo bi
Bintang sabit, Masyumi, ayo mi
Minak jinggo, ayo nggo
Nggodog telo, ayo lo
Londo mendem, ayo ndem,
Ndemok silit, gudhingen...

Ojo salah...
ojo salah..


Esuk - esuk tuku lengo nyangking botol, kon.. .
co

Konco lawas di jak dolan meyang kali, pe...
lem

Pelem iku kecute ngluwehi jeruk, tu...
ma

Tuma iku manggone ono ing rambut, jem...
pol

Jempol sikil othal-athil keno patil, i...
du

Idu kui nggo dolanan ora apik, alah tem...
polong

Tempolong yen digeret mbesetke kulit, si...
let

Silet iku dijupuk, ojo dicawuk, ga...
wang

Gawang bal-balan jaringe arep prithil, pen...
thung

Penthung wesi nggo nggebug sing do kurupsi.


Sumber: Kyai Kanjeng + Caknun
dalam "Optimisme Janda Royal"
Sutos, Surabaya,  2009









Wednesday, 10 April 2013

Tahta langit

Karena aku tidak akan ada
Ada seperti mentari,
hangat
setiap hari

Karena aku tidak akan ada
Ada dalam bilangan,
mengukur
dan terukur

Karena aku tidak akan ada
Dalam wujud nyata,
bayang
semu 
ataupun maya

Karena aku tidak akan hidup
Hidup untuk mati,
sejati
dalam genggam Alif

Karenaku tak berkata,
karenaku tak bertahta

Keranjang sampah
Kepulan asap
Onggokan puing
disana aku meniada

Tak bisa ku gendong mayatku
Tak bisa ku pikul jiwaku
Tak bisa ku junjung rasaku
Tak mampu melesat ruhku

Karena Kau bertahta
Karena Kau bertitah

Sungguhpun ada
cahaya itu yang nyata
dalam jiwa
bukan dengan mata

Hingga nantipun tiada
ia tetap ada
sekalipun terbetot jantungku
ia tidak terpaku

melesat jauh
ke tahtamu
Langit. 

Patemon 10 April 2013

Monday, 8 April 2013

Doa yang Puitis

Allahumma inna nas-aluka salamatan fid-din, 
wa 'afiatan fil-jasad, 
wa ziyadatan fil-ilmi, 
wa barakatan fir-rizqi, 
wa taubatan qablal maut, 
wa rahmatan 'indal maut, 
wa maghfiratan ba'dal maut, 
hawwin 'alaina fi sakaratil-maut, 
wan-najata minan-nar, 
wal'afwa 'indal hisab

Sunday, 24 March 2013

Hi, aku

Ada saat dimana kita terpojok, terpojok dalam sebuah kondisi limbung, tidak tentu arah, seperti kapas yang hanya melayang tertiup angin. Kemana angin membawa disitu kita berada. Namun apakah memang demikian kita ini? Adakah bagian-bagian dari siapa kita yang tertinggal dibelakang dan mengapa mereka tertinggal? Atau kemungkinan lain kita melesat terlampau jauh dari kita-kita yang lain itu.

Kalaulah hidup di kehidupan yang kita jalani sekarang adalah proses pencarian, lantas apa yang kita cari? Apakah benar kita kehilangan sesuatu lantas kita mencari untuk mengenggamnya lagi? Atau kita hanya mengada-ada untuk menemukan sesuatu yang baru lantas meninggalkan beberapa keping diri kita? 

Seuntai frame dialog dengan ruh kita, nyawa kita dimana otak dan pemikiran tidak menjangkau area ini karena siapapun didunia ini belum ada yang mengungkap dimana letak ruh itu berada. Dialog yang singkat tanpa kata tanpa suara, aneh memang ketika kita harus mempertanyakan eksistensi diri kita sendiri. Melihat seonggok jasad yang sehari-hari kita pinjam, kita exploitasi, kita siksa habis-habisan dari sudut pandang diluar jasad itu sendiri, ada rasa iba disana. Kita lantas menemui kita yang lain dan bertanya "Opo aku yo koyo ngono kui tenan ya Ku, Aku?" Disaat yang sama aku yang lain melihat pula dialog ini, "Lho aku kok nontoni aku sing lagi ngobrol mbe aku sing liyone".

Apapun konsepsi eksistensi dan pencarian itu, sekarang kalau boleh saya simpulkan adalah menemukan apa yang ditugaskan pada kita untuk dilakukan, dan hal ini tidak akan berhenti sebelum suatu saat kita meninggalkan dunia jasad yang kita kenal sekarang. Kepada penjaga malam, kutitipkan bintangku sementara waktu dalam penjagaanmu sebagai bentuk. Ketika terlesat cahaya yang menembus ruang waktu, terhubung dengan jaringan spektrum universal maka disanalah kutampung spektrumku mengekor dengan kekasihmu. Tak lupa sepercik kecil untuk bintangku agar ia tetap bersinar dalam sinergi cahaya untuk kutemui di langit mendung sekalipun.

Patemon, 24 Maret 2013


Saturday, 23 March 2013

Crux - April 2010

Kalian yang berjalan disampingku
ada sisi kanan
ada sisi kiri
Dimanapun sisi kalian berjalan,
kalian selalu disampingku

Untuk kalian yang tidak pernah didepanku,
ataupun dibelakangku
Untuk kalian yang melangkahkan kaki
walaupun kita tak seragam bak sebuah squadron,
tapi kaki-kaki itu mantap
menelusur alang alang
menapak lewatnya parit air hujan

Untuk kalian yang mengingatkanku
tentang cerita cerita masa lalu,
tentang langit yang tak selalu cerah,
tentang langit yang tak selalu berbintang,
tentang mata manusia yang begitu luar biasa,
dan ketebatasan sebuah lensa

Kalian yang menunjukkanku 
bagaimana berjalan,
berlari,
melompat, dan 
berenang
meski akkhirnya aku tak dapat terbang

Aku akan selalu ada
untuk mimpi-mimpi sebuah pencarian
Entah itu si Konsisten Crux
entah itu si Benderang Vega
atau si Angkuh Antares

Walaupun entah kapan kita bisa menemukannya
tapi aku salut dengan langkah-langkah kalian
Langkah-langkah yang bercampur peluh, tetes hujan,
dinginnya kabut, perihnya badai, dan
ganasnya gelombang laut selatan
Langkah-langkah ikhlas
Langkah-langkah mulia
Langkah-langkah kecil
dalam sebuah pencarian
untuk setetes embun pagi yang menyejukkan
Tak ada penyelasan
walaupun akhirnya kita tidak menemukan apa-apa

Aku bangga dengan pendirian kalian
yang bisa memposisikan porsi keilmuan kalian
Bukan untuk kalian sendiri,
untuk ilalang, air laut,
mendung,
merahnya senja,
pekatnya badai,
dan harumnya pagi.
Jika kita tidak bermakna bagi mereka,
bukan soal, 
sebagai pemikir kita sudah memenuhi panggilan kita.

Kelak suatu saat nanti
ketika Crux,
Vega,
Antares,
sejuknya embun, dan
ketiadaan
ada didepan kalian
jika aku masih diberi kesenpatan
aku akan bangga mendengar,
melihat,
merasakan,
nama kalian ada diantaranya
sebagai orang ku kenal.

Kepada orang-orang yang masih ingin melangkahkan kakimu,
teruslah berjalan...

Sunday, 17 February 2013

Minggu pagi, Jemuran, E book, dan Sisa Memori Sebuah Sore

Minggu pagi, waktu yang haram untuk mengurus beberapa tulisan remeh namun mendatangkan rejeki untuk bekal makan dan main esok. Dua minggu sudah bergelut dengan urusan ghost writing membuat jenuh pikiran dan aku sebenarnya lebih takut ketika kata-kata yang biasanya muncul bagai notifikassi pop-up dari twitter mulai lengang.

Friday, 18 January 2013

Us and Water

The most intelligent species on planet Earth is us, Human. We are able to maintenance the long living historical line stories. Planet Earth is born for us, indeed. As the valley have two cliff sides, we are the one who have the legacy to choose which side we stand. The natural capability of planet earth is no longer available in a great amount. Do we realize the planet sustainability in supporting living being? This waterfall for example, the water comes out in the place where the trees exist, the trees exist to regulate the water supply for the whole years, they manage it. Moreover, the trees produce fog and clouds reproducing the seed of new water form. Couldn't we do that?  

Thursday, 17 January 2013

Wandering The Sky


Sea birds and sky, the two joining while the sun rises, up the coastal hill. Taking the scene of lively planet Earth can be.
 
;